1,444 views

CERPEN “Welcome MAN 1 Grobogan”

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarokatuh.

Saya, Wita Usika Oktaviani dari kelas X MIPA 5, sebagai penulis cerpen di bawah ini.

Semoga karya ini bermanfaat untuk yang membacanya.

“Welcome MAN 1 Grobogan” 💚

“Ani, kamu setelah ini mau lanjut di sekolah mana?”

Ani tidak langsung menjawab, gadis berumur 14 tahun tersebut masih dalam posisinya menghadap papan tulis.

Saat ini kegiatan pembelajaran sudah usai, tetapi semua murid kelas 8-A masih di dalam kelas untuk membaca kembali materi yang diberikan oleh guru.

“Ani!” panggilnya lagi.

“Itu ‘kan masih lama, Gin. Masih satu tahun lagi, kita juga masih kelas 8.”

“Ya gapapa ‘kan pikirin hal itu. Lebih cepat lebih baik, kalau kita nunggu kelas 9, itu terlalu singkat buat kita nentuin tujuan kita.”

“Bener juga,” tutur Ani menyadari jika dirinya terlalu santai dengan tujuan hidupnya di masa pendidikan.

“Memangnya kamu mau lanjut ke mana, Gin?” tanya Ani, kini tatapannya beralih menatap Gina.

 “Aku deket-deket sini, aku pilih SMK daripada SMA.”

“Kenapa?” Ani bertanya.

“Kalau SMK ‘kan bisa langsung kerja juga bisa lanjut kuliah, tapi kalau masuk SMA peluangnya cuman satu, yaitu lanjut kuliah, kalau mau kerja enggak bisa jadi yang kita mau, sebab wawasan lebih banyak SMK dari pada SMA,” jelas Gina panjang lebar.

Ani mengangguk. “Kalau kamu mau ke mana, Ni?”

“Belum kepikiran.”

 “Ayo buruan pikirin tentang itu, kalau kamu enggak gercep, dampaknya juga enggak baik buat kamu.”

“Iya.”

Jam pelajaran kembali dimulai, percakapan mereka  sudahi. Guru pun datang dan siap mengajar di kelas 8-A.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, selamat siang anak-anak. Untuk jam pelajaran sekarang, buka buku LKS halaman 11 tentang ‘mana yang penting, dunia atau akhirat?‘ Jika sudah, coba anak-anak dengarkan penjelasan singkat dari Bapak.”

31 siswa-siswi tersebut membenarkan posisi masing-masing, siap mengikuti pelajaran yang dibawa oleh Bapak Nur guru agama dan bimbingan konseling.

“Bapak akan menjelaskan jika ada pertanyaan yang bapak terima. Ayo siapa yang mau tanya?”

“Saya, Pak.” Salah satu murid menyahut. “Jadi, jika yang penting itu dunia, kenapa kita harus belajar agama? Dan jikalau yang penting akhirat, mengapa kita berada di sini, bukan di pesantren? Terima kasih, Pak Nur.”

“Baik, pertanyaan yang bagus, Ahmad. Jadi, semuanya itu penting. Bapak tidak ahli Quran juga tidak hafal tentang banyak hadis, jadi, pertanyaan Ahmad, Bapak jawab seluas pengetahuan yang Bapak ketahui.”

“Semuanya penting untuk dipelajari, baik dunia juga akhirat. Maksudnya, dunia ‘kan sementara, dan kita akan kekal di akhirat setelah kita hidup di dunia. Dunia dibagi menjadi dua, dunia kejahatan dan dunia kebaikan, dan begitu juga akhirat dibagi menjadi dua, surga dan neraka. Agar kita bisa masuk surga, maka tekunilah hidup di dunia dengan penuh kebaikan.”

“Kesimpulannya, semuanya patut di pelajari, sama-sama penting. Kalau kita ingin masuk surga, maka habiskanlah duniamu dengan belajar tentang akhirat. Jadi, apakah semuanya paham?”

In syaa allah paham, Pak.”

“Baik, untuk sesi kedua, siapa yang mau tanya?”

“Saya, Pak.” Ani mengacungkan tangan. “Penjelasan tadi untuk siapa, Pak? Apakah ada penjelasan tersendiri untuk kita sebagai pelajar?”

Pak Nur tersenyum kecil, sebagai guru beliau bangga sebab murid-muridnya pandai bertanya.

“Belajar tidak mengenal umur, jadi penjelasan tadi untuk semua kalangan. Paham Ani?”

“Oh, iya, paham,” sahut Ani. Sambil memikir, Ani kepikiran ingin melanjut pendidikannya di sekolahan yang ada tambahan pelajarannya tentang agama, jadi, selain pelajaran tentang negara, juga mendapat ilmu yang berguna untuk akhirat. Sepertinya Ani ingin masuk ke sekolahan yang ada di Kudus, yang salah satu sekolahannya hanya berisi semua perempuan.

Ani mulai mencari informasi-informasi mengenai sekolahan yang ia inginkan, ia sudah punya tujuan jenjang pendidikannya, tetapi gadis itu memilih diam terlebih dahulu. Ia tidak memberi tahukan pada teman-teman dan keluarga. Ani takut jika kedua orang tuanya tidak setuju Ani sekolah jauh dari rumah, apalagi jika Ani sampai memberi tahu pada teman-temannya, Ani khawatir jika keinginannya tidak terwujud karena terbatasnya ekonomi sehingga dirinya ditertawakan.

Saat kenaikan kelas, Ani mencoba memberanikan diri untuk bilang pada Ibunya, tetapi Ibu Ani tidak setuju. Beliau kata, “buat apa sekolah jauh-jauh? Gimana nanti Ibu ngurusin kamu kalau kamu enggak di rumah? Sekolah dekat sini-sini aja, Ni. Kudus ‘kan jauh dari sini.”

Ani tak kunjung menyerah, ia menelepon Ayahnya yang bekerja di luar kota untuk meminta restu.

“Ayah, Ani boleh sekolah di Kudus sambil mondok, enggak? Di sana sekolahannya bagus dan enggak dicampur antara perempuan dan laki-laki.”

“Terserah kamu, Bapak ngikut Ibu dan kamu aja.”

“Ibu gak setuju,” sahut Ani.

“Ya, coba dibujuk. Kalau ada apa-apa tentang sekolah baru, bilang sama Ayah.”

“Iya iya. Tapi coba Ayah bujuk Ibu, Yah.”

“Iya iya, nanti dicoba sama Ayah.”

“Beneran?”

“Iya.”

Ternyata, keinginan Ani membuat Ibu dan Ayahnya bertengkar. Ani merasa bersalah, dan dia meminta maaf saat Ibu-Ayahnya berkumpul di ruang keluarga.

“Buk, Ani enggak jadi deh sekolah jauh-jauh.”

“Kenapa?” Ibu bertanya.

“Udah gak minat.”

“Ibu gak setuju karena Ibu takut kamu jauh dari Ibu, Ni. Marahnya ibu adalah sayangnya Ibu sama kamu. Kamu boleh sekolah jauh, tapi ibu angkat tangan kalau sewaktu-waktu ada acara. Kamu paham ‘kan kalau Ibu gak berani pergi jauh? Ayahmu juga sibuk kerja.”

“Emang motivasi apa yang kamu dapat buat sekolah jauh, Ni?” Ayah bertanya.

“Itu, aku pengen mengimbangi belajarku, dunia juga akhirat.”

“Oalah, kalau gitu kamu sekolah di Purwodadi aja, di sana ada anak temennya ayah yang sekolah sana. Kamu bisa sekolah di situ, sesuai apa yang kamu inginkan kok.”

“Heem iya, tapi ‘kan di MAN muridnya di campur. Sedangkan aku mau yang perempuan aja, Yah. Aku mau nyalon osis, tapi kalau ada laki-lakinya aku gak berani.”

“Lha? Kok gitu, Ni. Malah itu kesempatan yang bagus buat kamu. Kamu nyalon osis dan berarti statusmu sebagai perempuan lebih berani ketimbang mereka sebagai orang yang kamu pimpin.”

Ani terhenyak, ucapan Ayah memang benar.

Ani memutuskan untuk mengubah planing, ia mengikuti madrasah aliyah tersebut sampai pembukaan pendaftaran dibuka, dengan cepat Ani mendaftarkan diri dan dia diterima.

Hari pertama Ani masuk sekolah, ia menginjakkan alas sepatu kakinya melewati zebra cross, kaki jenjangnya terus melangkah mencapai gerbang menjulang tinggi tersebut. Dulu, ketika dirinya masih SMP, Ani tidak pernah menutup rambutnya. Namun, setelah mendapat kesempatan dapat sekolah ke MAN, Ani merasakan keajaiban yang membuat Ani bergetar saat bersekolah dengan menggunakan jilbab logo MAN 1 GROBOGAN.

Bangunan bertingkat dengan dominasi warna hijau membuat Ani terhenyak, jantungnya berdetak saat banyak murid berjalan menuju kelas masing-masing, darah merah ikut berdesir tatkala Ani menangkap pemandangan langit yang memayungi.

“Subahanallah,” lirih Ani memuji.

“Ya Allah, maaf jika aku kembali berharap setelah mengharapkan sesuatu. Aku harap setelah harapanku memasuki sekolah ini, semoga aku dapat mengamalkan ilmunya.”

Welcome MAN 1 Grobogan!” seru Ani kemudian kembali melangkah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *